Senin, 24 Agustus 2009

Ganyang lagi Malaysia

"Ganyang Malaysia Jilid 2"
lagi-lagi Malaysia membuat ulah lagi......
memang benar-benra kita dibuat marah dan harus berfikir serus tentang aset yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, biar tidak diakui oleh negara manapun terutama Bangsa Biadap Malaysia.
memang Indonesia selalu bersabar dan bersikap dewasa namun kalau dibiarkan terus-menerus aset-aset yang kita miliki akan lenyap. kita sudah terusik dengan lagu rasa sayange, pulau Ambalat, angklung, Reog Ponorogo dan yang terakhir tari Pedet diakui bangsa yang tidak punya aset yaitu Malaysia sebagai bagian dari keseniannya. padahal nyata-nyata Tari pedet merupakan hasil karya anak bangsa Indonesia dari pulau Bali. Sebagai bangsa yang bermartabat tidak boleh tinggal diam terutama masyarakat adanya kejadian ini. Sebagai bahan renungan bahwa sementara ini memang masyarakat dan pemerintah tidak serius mengelola aset- aset bangsa yang beribu-ribu atau berjuta-juta hasil kebudayaan anak bangsa sehingga kita selalu dilecehkan dengan pengakuan terhadap pengakuan hasil kebudayaan kitaoelh malaysia sebagai aset mereka.
Mari kiat bersama- sama membangun bangsa ini dengan selalu menghargai kebudayaan leluhur dan di Uri-urinya. serta siapa yang mengambil milik kita harus kita bersatu untuk merebutnya. sekali lagi ganyang Malaysia sebagai bangsa yang tidak bermartabat..............Merdeka!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 25 Juli 2009

Jumat, 06 Maret 2009

MBANGUN JEPARA BUMI KARTINI: solkhan piyantun Jepara

MBANGUN JEPARA BUMI KARTINI: solkhan piyantun Jepara

पेनेलितियन तिन्दकन kelas



ROLE PLAY: SUATU ALTERNATIF
PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN
MENYENANGKAN DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN BERBICARA SISWA
SLTP ISLAM MANBAUL ULUM GRESIK

Oleh : Mudairin*

Abstrak. Sebagai guru bahasa Inggris seringkali dihadapkan pada dua pilihan, mengajar bahasa Inggris untuk mengejar nilai Ebtanas atau melatih kemampuan siswa menggunakan bahasa itu sebagai bahasa komunikasi. Tampaknya pilihan pertama banyak dipilih karena selama ini tolok ukur keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris diidentikkan dengan perolehan nilai EBTANAS. Yang terjadi selanjutnya, pembelajaran di kelas monoton dari hari ke hari. Waktu belajar siswa banyak dihabiskan untuk mengerjakan soal-soal latihan.

Bagaimana dengan keterampilan berbicara siswa? Tidak ada keraguan sama sekali bahwa mereka enggan berbicara dalam bahasa Inggris. Mereka tampak merasa malu dan takut salah. Mereka memang tahu banyak tentang bahasa Inggris tapi sayangnya tidak tahu harus berbuat apa terhadap bahasa Inggris.

Salah satu upaya guna meningkatkan keterampilan berbicara siswa adalah memberikan Role Play sebagai bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan English atmosphere di dalam kelos. Dalam Role Play siswa di-setting pada situasi tertentu dan saling berinteraksi bersama teman-temannya dengan menggunakan bahasa Inggris.

Kata kunci: Keterampilan berbicara bahasa Inggris, Role Play Pembelajaran English atmosphere.

PENDAHULUAN

Kurikulum bahasa Inggris SLTP 1994 dan suplemennya menekankan keterampilan membaca (reading) pada pembelajaran bahasa Inggris di SLTP (Kurikulum bahasa Inggris, 1994). Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas banyak difokuskan pada keterampilan membaca (reading). Sementara itu, keterampilan lain utamanya keterampilan berbicara (speaking) tidak banyak mendapatkan perhatian. Apalagi adanya kenyataan bahwa keterampilan berbicara tidak diujikan dolam ulangan bersama atau dalam Ebtanas. Yang terjadi selanjutnya, banyak guru yang memberi porsi secara berlebihan pada keterampilan membaca (reading), sementara kemampuan speaking siswa sangat tidak kompeten. Keadaan ini menjadikan mereka enggan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (Yang Shuying, 1999).

Kondisi yang demikian ini terjadi di sekolah peneliti di SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik. Pembelajaran bahasa Inggris banyak difokuskan pada reading karena reading banyak mendominasi soal-soal ulangan, baik ulangan bersama maupun Ebtanas. Disisi lain, keterampilan berbicara tidak banyak mendapatkan perhatian yang cukup. Pembelajaran keterampilan speaking disajikan sebatas pada penjelasan-penjelasan mengenai fungsi ungkapan-ungkapan bahasa, tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperaktikkan ungkapan-ungkapan itu. Lebih parah lagi, bahasan-bahasan itu dikemas dalam bentuk soal-soal latihan. Tidak lain, tujuannya adalah mengkondisikan siswa pada soal-soal Ebtanas. Faktor yang demikian ini menjadikan kemampuan berbicara siswa dalam bahasa Inggris tertatih tatih.

Disisi lain, penguasaan seseoranq terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi amat penting. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah orang yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau bahasa kedua akan melebihi jumlah penutur aslinya (Melvia A. Hasman, 2000). Belum lagi pada tahun 2003 akan diberlakukan dua perjanjian, yaitu AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free Labour Area), sementara pada tahun 2020 akan diberlakukon Perjanjian WTO.

Melihat peluang-peluang itu dan memperhatikan keberadaan sekolah peneliti ada di daerah industri, tidak ada pilihan lain bahwa keterampilan berbicara siswa harus ditingkatkan. Mengapa keterampilan berbicara? Dari keempat keterampilan bahasa (menyimak, berbicara, membaca dan menulis), keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris sangat dibutuhkan dalam bidang industri.

Guna meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, peneliti menggunakan Rote Play sebagai bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas.

Role play adalah sejenis permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield, 1 986). Dalam Role Play siswa dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, Rote Play sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa Inggris (Basri Syamsu, 2000).

Dalam Role Play siswa diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri siswa (Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran bahasa menjelaskan bahwa dalam pembelajaran bahasa, siswa akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan menggunakan bahasa dengan melakukan berbagai kegiatan bahasa. Bila mereka berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari (Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran siswa harus aktif. Tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi (Sardiman, 2001).

Sementara itu, sesuai dengan pengalaman peneliti manfaat yang dapat diambil dari Role Play adalah: Pertama, Role Play dapat memberikan semacam hidden practise, dimana siswa tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari. Kedua, Role play melibatkan jumlah siswa yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar. Ketiga, Role Play dapat memberikan kepada siswa kesenangan karena Role Play pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain siswa akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa. Masuklah ke dunia siswa, sambil kita antarkan dunia kita (Bobby DePorter, 2000).

Peneliti juga menggunakan musik sebagai back-ground suara di dalam kelas pada saat siswa melakukan praktik bahasa. Musik yang dimakud dalam hal ini adalah jenis musik klasik, misalnya musik Mozart atau Barrogue. Musik ini berfungsi untuk mendukung lingkungan pembelajaran, merubah mental siswa dan mempengaruhi kondisi hati siswa. Dalam suasana hening, siswa biasanya merasa malu memulai pembicaraan dalam bahasa Inggris karena takut salah. Di samping itu, irama, ketukan dan keharmonisan musik dapat mempengaruhi filosofi manusia, terutama gelombang otak dan detak jantung, disamping dapat membangkitkan perasaan dan ingatan. Musik dapat membantu siswa masuk ke keadaan belajar optimal. Musik juga memungkinkan guru membangun hubungan dengan siswa. Melalui musik, guru dapat berbicara dalam bahasa mereka (Bobby DePorter, 2000).

Berdasarkan uraian di atas peneliti mencoba merumuskan masalah, yaitu: bagaimana mengembangkan materi dan strategi pembelajaran bahasa lnggris melalui Role Play guna meningkatkan keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris siswa-siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik?

Penelilian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengembangkan materi dan strategi pembelajaran bahasa Inggris melalui Role Play guna meningkatkan keterampilan berbicara siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik.

RENCANA TINDAKAN

Guna meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik, peneliti menggunakan Role Play sebagai bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Pada setiap tatap muka selama 90 menit, siswa diminta secara aktif melakukan praktik bahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) pada situasi tertentu dalam kelompok kecil (yang terdiri dari 2 sampai 6 siswa) maupun kelompok besar (lebih dari 6, atau melibatkan seluruh kelas). Dengan perlakukan seperti ini, didapatkan asurnsi bahwa kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik akan meningkat. Adapun bagian detilnya akan didapatkan setelah penelitian ini dilakukan, dan itu akan disampaikan pada bagian kesimpulan.

Setting penelitian

Penelitian ini dilakukan di SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik. Sebagai sasarannya adalah siswa kelas II (dua) B dengan jumlah siswa sebanyak 41 siswa. Mereka sebagian besar adalah siswa-siswa yang memiliki nilai akademik rendah, sisa-siswa yang tidak diterima di sekolah-sekolah negeri.

Peneliti adalah guru bahasa Inggris, yang sudah sekitar 10 tahun mengajar bidang studi bahasa Inggris di sekolah tersebut. Sekolah itu terletak di daerah industri di pinggiran kota dimana sangat rentan terhadap munculnya masalah-masalah sosial yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran sjswa.

Persiapan penelitian

Untuk mendapatkan refleksi awal, peneliti melakukan tes awal yang berbentuk tes interview. Tes awal ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi siswa sebenarnya tentang kemampuan berbicara siswa dalam bahasa Inggris. Setelah peneliti mengetahui gambaran awal, peneliti melakukan persiapan penelitian yang antara lain, menyusun rencana pengajaran sekaligus menyusun materi pembelajaran dalam bentuk Role Play, membuat media pembelajaran (kartu, students' worksheet, gambar, type recorder) dan membuat instrumen penelitian.

Siklus Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang menggunakan 3 siklus sedang, dan dalam setiap siklus sedang terdiri dari 6 siklus kecil. Total jumlah siklus kecil dalam penelitian ini sebanyak 18 siklus kecil. Dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Pembagian siklus menjadi 3 siklus sedang dimaksudkan karena setiap siklus sedang memiliki karakter dan tujuan yang berbeda-beda.

Siklus sedang I memiliki karakter bahwa materi yang diberikan kepada siswa sebagian besar merupakan materi kelas I (satu), dan masih sederhana. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan sekaligus meningkatkan keberanian dan rasa percaya diri siswa karena materi-materi itu pada dasarnya sudah dikenal siswa pada saat kelas 1. Siklus sedang II, materinya dikembangkan satu tingkat grade-nya di atas materi siklus sedang 1. Tujuan yang ingin dicapai adalah disamping untuk meningkatkan keberanian dan rasa percaya diri siswa, sekaligus untuk meningkatkan fluency. Sementara itu siklus sedang III, bobot materinya hampir sama dengan materi pada siklus sedang II. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa, fluency dan accuracy. Topik atau tema pada masing-masing siklus dapat dilihat pada bagian selanjutnya.

Sementara itu, yang dimaksud dengan siklus kecil adalah suatu kegiatan pembelajaran yang menyajikan satu anak tema atau topik tertentu dalam satu tatap muka selama 90 menit (2 x 45 menit). Setiap siklus kecil terdiri dari empat tahapan yaitu, planing, acting, observing, dan reflecting.

Instrumen Penelitian

Untuk mendukung validitas, penelitian ini menggunakan instrumen-instrumen sebagai berikut; interview, questionaire, field notes, skala penilaian dan intsrumen lain berupa perangkat elektronika. Instrumen-instrumen tersebut dimaksudkan agar didapatkan triangulasi data.

HASIL PENELITIAN

Refleksi Awal

Seperti yang telah peneliti uraikan pada awal bagian penelitian ini bahwa kemampuan berbicora dalam bahasa Inggris siswa-siswa SLTP Islam Manbaul Ulum Gresik amat rendah. Kondisi seperti ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pembelajaran sebelumnya, pada saat mereka kelas 1. Ini terbukti dari hasil interview yang dilakukan oleh peneliti didapatkan data bahwa kemampuan berbicara siswa dalam bahasa Inggris siswa rata-rata sangat rendah. Sebanyak 10% siswa dapat menjawab pertanyaan yang diajukan dengan mendapatkan nilai kategori baik (siswa dapat menjawab pertanyaan dan jawabannya tetap mengacu pada pertanyaan dengan menggunakan kosa kata yang tepat, dan kesalahan struktur hamper tidak ada). Sebanyak 20% siswa mendapat nilai dengan kategori cukup (siswa dapat menjawab pertanyaan tetapi menggunakan sedikit kosa kata dan sering membuat kesalahan pada struktur, kadang-kadang jawabannya tidak mengarah pada pertanyaan). Sedangkan sisanya, sebanyak 70 % siswa mendapatkan nilai kategori jelek (Siswa tidak menjawab sama sekali karena tidak mengerti maksud pertanyaan. Atau jika paham, mereka malu dan takut menjawab).

Di bawah ini daftar topik pertanyaan yang di-interview-kan kepada siswa:

1. Giving about the name, age, address, hobby
2. Giving information about family
3. Talking about job
4. Physical description
5. Like/dislike
6. Talking about colour
7. Talking about clothes
8. Giving information about daily activity
9. Replying where people are
10. Talking about ongoing actilvity

Siklus Sedang I

PERENCANAAN

Siklus sedang I terdiri dan 6 siklus kecil, dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Materi yang diberikan antara lain: Asking for and giving personal information 1, Asking for and giving personal information 2, Asking for and giving personal information 3, Talking about family. Counting, Asking and replying where things are.

Langkah-langkah yang ditempuh antara lain:
a. Membuat setting Role Play agar tampak sebagaimana mestinya. Misalnya, menjelaskan kepada siswa peran apa yang akan dimainkan. Di sini, peneliti melakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan setting Role Play dan atributnya.
b. Menjelaskan tujuan dan aturan permainan.
c. Memberikan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, membimbing cara pengucapkannya beberapa kali dan sekaligus menjelaskan penggunaannya. Ini dilakukan dengan maksud agar siswa merasa percaya diri menggunakan ungkapan-ungkapan itu dalam Role Play.
d. Memilih musik yang sesuai sebagai background suara agar suasana tampak rileks sehingga dapat mengurangi ketegangan siswa.

PELAKSANAAN

Siswa diminta memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan permainan selama kurang lebih 50 menit. Untuk 5 menit pertama, peneliti membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play, misalnya menata kelas, membuat atribut dan menceriterakan kepada siswa peran yang akan dimainkan. 5 menit berikutnya, peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Kemudian 15 menit selanjutnya ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play dituliskan di papan, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang akan dipakai.

Untuk topik-toprk yang lebih rumit,kegiatan ini kadang-kadang membutuhkan lebih dari 15 menit. Selanjutnya setelah siswa merasa jelas, peneliti meminta siswa memperaktikkan Role Play selama kurang lebih 25 menit dalam kelompok. Pada saat siswa bermain Role Play, peneliti membunyikan musik sebagai background suara dengan volume tertentu.

Peneliti selanjutnya memantau jalannya Role Play sambil memberikan bantuan kepada siswa. Untuk kesalahan-kesalahan yang bersifat umum, artinya dilakukan hampir seluruh siswa, peneliti menjelaskan kembali secara klasikal. Sementara kesalahan yang bersifat individu atau kelompok, peneliti langsung memberikan penjelasan pada individu atau kelompok itu.

PENGAMATAN

Pada setiap akhir dua siklus kecil, Angket Siswa dibagikan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon siswa setelah mereka mempraktikkan Role Play. Tabel benkut ini menunjukkan jumlah rata-rata respon siswa dari 3 angket yang teriah disebarkan selama pelaksanaan sikius sedang 1. Dari 41 jumlah didapatkan data seperti pada Tobel 1. Data Tabel 1 di-checkcross-kan dengan Lembar Observasi Aktivitas dalam KBM yang dilakukan oleh kolaborator, dan didapatkan data:

1. Peneliti merasa kesulitan membuat gambar atau media lain untuk kata-kata tertentu sehingga kata-kata itu langsung diterjemahkan. Hal yang demikian ini mengakibatkan sebanyak 64 % siswa merasa kesulitan memahami arti kosa kata meskipun sudah diartikan kedalam bahasa Indonesia.
2. Peneliti sudah memberi contoh cara melafalkan ungakapan-ungkapan yang dipakai namun tidak banyak memberi penekanan sehingga mengakibatkan sebanyak 61% siswa merasa kesulitan mengucapkan ungkapan-uangkapan itu saat mempraktikkan Role Play.










TABEL : 1

No. JUMLAH URAIAN
1. 64 % Siswa Menyatakan merasa kesulitan dalam memahami arti kosa kata yang terdapat dalam Role Play
2. 26 % Siswa Menyatakan bahwa kosa kata yang sukar jumlahnya sedikit.
3. 58 % Siswa Menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play
4. 61 % Siswa Menyatakan merasa kesulitan mengucapkan ungkapan-ungkapan itu
5. 76 % Siswa Menyatakan merasa sudah jelas dengan aturan Role Play
6. 79 % Siswa Menyatakan merasa jelas dengan contoh yang telah diberikan oleh guru.
7. 76 % siswa Menyatakan merasa senang belajar bahasa Inggris melalui Role Play
8. 59 % Siswa Menyatakan merasa sulit bermain Role Play


REFLEKSI

Sementara itu, hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus sedang I sebagaimana di bawah ini:

1. Pada awal pelaksanaan siklus sedang I tampaknya sebagian besar siswa masih merasa canggung (tidak percaya diri) melakukan praktik bahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris). Sebagai gantinya, siswa banyak melakukannya dengan cara melihat pekerjaan teman-temannya. Kondisi yang demikian ini terjadi karena siswa belum terbiasa melakukan Role Play. Kemungkinan lain, kurangnya penekanan pada latihan melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play sehingga siswa merasa malu. Masalah ini (percaya diri siswa) akan mendapat perhatian peneliti untuk pelaksanaan siklus sedang berikutnya.

2. Di samping melihat pekerjaan teman-temannya, untuk mendapatkan dan memberi infromasi yang semestinya dilakukan dengan cara bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris, banyak siswa yang masih menggunakan bahasa daerah. Misalnya, untuk meminta perhatian seseorang, minta maaf, menyuruh orang lain mengulang apa yang ia katakan. Padahal, untuk tujuan ini mereka sebenarnya dapat saja melakukan dalam bahasa Inggris dengan cara melihat ungkapan-ungkapan itu yang masih tertera di papan tulis. Keadaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh ketidak biasaan mereka berbicara dalam bahasa Inggris sehingga mereka enggan melakukannya. Pada pelaksanaan siklus selanjutnya agar keadaan ini tidak terulang lagi siswa banyak dibekali cara melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, dan siswa sering diingatkan agar mereka tidak canggung dan ragu-ragu lagi.

3. Sebagian besar siswa merasa sulit beradaptasi dengan Setting Role Play yang dipersiapkan sepenuhnya oleh peneliti. Keadaan ini akan mendapat perhatian peneliti pada pelaksanaan siklus sedang berikutnya. Misalnya, dengan memberitahukan terlebih dahulu tentang setting Role Play untuk pertemuan berikutnya, kemudian memberi penugasan kepada siswa untuk membuat persiapan-persiapan setting Role Play sebagaimana yang dikehendaki.

Siklus Sedang II

PERENCANAAN

Siklus sedang II terdiri dan 6 siklus kecil, dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Materi yang diberikan adalah: Asking where places are 1, Asking where places are 2, Asking for things in a shop, Shopping around, Describing feelings, Talking about habits and hobbies.

Langkah-langkah yang ditempuh pada perencanaan siklus sedang II adalah:

1. Memberikan setting Role Play terlebih dahulu untuk perternuan berikutnya, dan memberikan penugasan kepada siswa untuk mempersiapkan setting itu.
2. Menjelaskan dan menegaskan kembali kepada siswa tujuan dan aturan permainan agar siswa tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya. Melainkan bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris untuk mendapatkan dan memberi informasi.
3. Melatih siswa melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play beberapa kali, dan sekaligus menjelaskan kegunaannya serta memberikan contoh agar mereka menjadi jelas dan percaya diri disamping untuk meningkatkan fluency siswa.
4. Memperpanjang waktu bermain Role Play, semula 50 menit menjadi 60 menit.
5. Memilih jenis musik yang sesuai sebagai backround.

PELAKSANAAN

Siswa diminta kembali memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan permainan selama kurang lebih 60 menit. Untuk 5 menit pertama, siswa membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play sebagaimana yang telah diberitahukan terlebih dahulu dan ditugaskan oleh peneliti. Siswa tampaknya lebih mudah beradaptasi dengan setting yang telah mereka persiapkan sendiri. 5 menit berikutnya, peneliti, menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Pada bagian ini peneliti mengingatkan dan menekankan kepada siswa untuk melakukan Role Play sebagaimana prosedurnya, dan bukan melihat pekerjaan temannya. Kemudian 15 menit selanjutnya ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play dituliskan di papan, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata beberapa kali hingga siswa merasa jelas. Selanjutnya setelah siswa merasa jelas, peneliti meminta siswa mempraktikan Role Play selama kurang lebih 35 menit dalam kelompok. Pada saat siswa bermain Role Play, peneliti membunyikan musik sebagai background suara dengan volume tertentu.

Peneliti selanjutnya memantau jalannya Role Play, dan masih memberikan bantuan kepada siswa. Untuk kesalahan-kesalahan yang bersifat umum, kesalahan itu dijelaskan kembali secara klasikal. Sementara kesalahan yang bersifat individu atau kelompok, dijelaskan pada saat kesalahan itu terjadi. Namun demikian, koreksi yang diberikan tidak menjadikan siswa down.

PENGAMATAN

Pada setiap akhir dua siklus kecil, Angket Siswa dibagikan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon siswa setelah mereka mempraktikkan Role Play. Data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan di beberapa hal.

Dari semula 64% siswa yang menyatakan merasa kesulitan memahami arti kosa kata dalam Role Play, kini turun menjadi 51%. Ini dikarenakn peneliti tidak langsung mengartikan kata-kata itu tapi menggunakan gambar atau realia dan mungkin gesture. Sehingga gambar dan gesture itu dapat dijadikan siswa sebagai alat cantolan untuk menambatkan kata-kata dalam benak mereka. Semula 58% siswa yang menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, kini meningkat menjadi 70%. Ini disebabkan guru banyak melatih siswa melafalkan ungkapan-ungkapan itu. Disamping itu, siswa juga sudah mulai terbiasa bermain Role Play sehingga mereka juga terbiasa melakukan tanya dan jawab dalam bahasa Inggris. Demikian pula yang menyatakan senang bermain Role Play, semula dari 76% meningkat menjadi 82%. Sementara itu, jumlah siswa yang menyatakan sulit bermain Role Play kini turun, semula 59 % menjadi 41 %. Ini tidak lain karena siswa sudah terkondisi bermain Role Play.

REFLEKSI

Hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus sedang II adalah sebagai berikut:

1. Rasa percaya diri siswa selama pelaksanaan siklus sedang II tampak lebih baik dibandingkan pada siklus sebelumnya. Banyak siswa yang tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya untuk mendapatkan dan memberi informasi. Melainkan mereka lakukan dengan bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris kendatipun cara melafalkannya (fluency) masih belum baik. Ini dikarenakan sikap peneliti yang sering membantu siswa melafalkan dan sekaligus menjelaskan fungsi ungkapan-ungkapan yang dipakai. Perpanjangan waktu untuk memperaktikkan Role Play tenyata dapat mempengaruhi rasa percaya diri siswa karena siswa merasa lebih leluasa dan lebih lama melakukan praktik bahasa.
2. Jumlah siswa yang menggunakan bahasa daerah saat mereka memperaktikkan Role Play berkurang. Untuk menyuruh temannya mengulang, misalnya, siswa menggunakan ungkapan "What?". Sementara untuk ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, mereka tidak ragu lagi menggunakannya walaupun pronounciation-nya masih belum baik. Ini dikarenakan siswa sudah mulai terkondisi betul dengan permainan Role Play.
3. Role Play yang dimainkan dalam kelompok besar, lebih dari 6 siswa, suasananya tampak lebih meriah dari pada jika dimainkan dalam kelompok kecil, yang dimainkan hanya 2 siswa atau kurang dari 6 siswa. Faktor ini ternyata dapat mempengaruhi keberanian dan rasa percaya diri siswa sekaligus dapat mempertahankan siswa untuk tetap melakukan praktik (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris). Ini dikarenakan bila Role Play dimainkan dalam kelompok besar, siswa dapat memilih patner mereka sesuka hati. Berbeda dengan jika dimainkan dalam kelompok kecil. Dalam kelompok kecil, siswa melakukan hanya terbatas kepada teman sebangkunya saja. Pada siklus sedang berikutnya, pemilihan topik Role Play akan dipertimbangkan dengan kelompok besar.

Siklus Sedang III

PERENCANAAN

Siklus sedang III terdiri dari 6 siklus kecil, dan setiap siklus kecil berlangsung selama 90 menit. Materi yang akan diberikan antara lain: Asking for and giving permission. Talking about likes and dislikes. Describing places. Describing houses, Asking about travelling to work.

Langkah-langkah yang diberikan pada perencanaan siklus sedang III sebagai berikut:

1. Memilih materi-materi Role Play yang dimainkan dalam kelompok besar. Ini dimaksudkan agar rasa percaya diri dan fluency siswa lebih meningkat. Dengan cara ini siswa dapat menentukan pasangannya secara bergantian, dan dengan cara ini pula siswa dapat melatih rasa percaya diri mereka kepada teman-temannya. Disamping itu, mereka juga dapat mengukur fluency mereka dibanding dengan teman-temannya.
2. Menambah waktu bermain Role Play, semula 60 menit menjadi 75 menit. Ini dimaksudkan agar siswa lebih lama melakukan peraktik bahasa bersama teman-temannya.
3. Memilih jenis musik yang sesuai sebagai background.

PELAKSANAAN

Siswa diminta kembali memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan permainan selama kurang lebih 75 menit. Untuk 5 menit pertama, siswa membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play sebagaimana yang telah dilakukan pada siklus sebelumnya. 5 menit berikutnya, peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Pada bagian ini peneliti menekankan kembali kepada siswa untuk melakukan Role Play sebagaimana prosedurnya, dan bukan melihat pekerjaan temannya. Kemudian 15 menit selanjutnya ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play dituliskan di papan, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menirukan cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang akan dipakai beberapa kali hingga siswa merasa jelas. Selanjutnya, peneliti meminta siswa mempraktikkan Role Play selama kurang lebih 50 menit dalam kelompok besar. Pada saat siswa bermain Role Play, peneliti membunyikan musik sebagai background suara dengan volume tertentu.

Peneliti selanjutnya masih tetap memantau jalannya Role Play sambil memberikan bantuan kepada siswa.

PENGAMATAN

Pada setiap akhir dua siklus kecil, Angket Siswa dibagikan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui respon siswa setelah mereka mempraktikkan Role Play. Data yang diperoleh menunjukkan adanya penurunan dan peningkatan di beberapa hal.

Dari semula 51% siswa yang menyatakan merasa kesulitan memahami arti kosa kata dalam Role Play, kini menjadi 31%. Ini dikarenakan kosa kata yang dipakai dalam Role Play banyakyang dikenal oleh siswa, ditambah lagi peneliti lebih banyak menggunakan gambar, realia dan mungkin gesture untuk membantu siswa memahami artinya. Dari 70% siswa pada siklus sebelumnya yang menyatakan mudah memahami ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, kini meningkat menjadi 87%. Kondisi yang demikian ini banyak dipengaruhi oleh latihan melafalkan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Inggris pada siklus-siklus sebelumnya. Demikian pula yang menyatakan senang bermain Role Play, semula dari 82% meningkat menjadi 91%. Yang demikian ini karena bermain merupakan kegiatan yang disukai siswa SLTP Jadi, wajar kenaikan itu drastis. Sementara itu, jumlah siswa yang menyatakan sulit bermain Role Play kini turun, semula 41% menjadi 23%. Ini tidak lain karena siswa sudah terkondisi bermain Role Play. Mereka sudah terbiasa dengan tujuan dan aturan-aturannya. Mereka juga tahu apa yang harus diperbuat dan harus mereka katakan.

REFLEKSI

Hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus sedang III adalah sebagai berikut:

1. Selama pelaksanaan siklus sedang III, keberanian dan rasa percaya diri siswa benar benar tampak. Sebagian besar siswa, sekitar 90%, tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya untuk mendapatkan dan memberi informasi. Melainkan mereka lakukan dengan cara bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris. Fluency mereka juga tampak lebih baik dibandingkan siklus sebelumnya karena ungkapan-unkapan yang dipakai sudah banyak dikenal oleh siswa. Demikian pula pada accuracy siswa. Karena materi yang dipilih merupakan materi Role Play yang dimainkan pada kelompok besar, sehingga siswa dapat melakukan praktik bahasa (bertanya dan menjawab melalui Role Play).
2. Pada akhir pelaksanaan siklus sedang III penggunaan bahasa daerah sudah tampak berkurang. Misalnya jika mereka mengatakan sesuatu yang salah, mereka mengucapkan "I'm sorry" atau minimal "Sorry", dan bukannya "Eh" dalam bahasa daerah. Jika mereka meminta perhatian orang lain, mereka mengatakan "Excuse me!", bukan "Lhe" dalam bahasa daerah. Dan begitu seterusnya untuk ungkapan-ungkapan seperti, "Thank you", "That's OK". Siswa begitu fasih menggunakannya karena mereka sudah terbiasa.

KESIMPULAN

Salah satu variasi pembelajaran bahasa Inggris untuk siswa SLTP adalah pembelajaran bahasa Inggris melalui Role Play. Role Play sebaiknya dipersiapkan dan dirancang dengan baik. Dalam memberikan Role Play sebagai kegiatan pembelajaran bahasa Inggris, guru sebaiknya memperhatikan level siswa, utamanya pada pemilihan materi. Role Play yang terlalu tinggi bagi siswa dapat mempengaruhi psikologi siswa. Setting, tujuan dan aturan permainan dalam Role Play harus disampaikan agar dapat menumbuhkan rangsangan tersendiri bagi siswa. Siswa akan lebih bergairah bermain Role Play karena mereka sadar dan menganggap itu suatu kebutuhan. Jika perlu siswa juga dapat diberdayakan misalnya, dalam pembuatan setting Role Play. Karena Role Play yang baik adalah Role Play yang mampu memberdayakan sekaligus membuat siswa aktif. Dengan cara demikian siswa akan terlatih melakukan praktik-praktik bahasa, saling berinteraksi menggunakan bahasa Inggris bersama teman-temannya tanpa mereka sadari sebelumnya.

SARAN

Guru sebaiknya dalam melakukan pengajaran bahasa Inggris di kelas tidak harus selalu berorientasi pada perolehan hasil Ebtanas sebagai tujuannya. Ada yang lebih menantang, bagaimana membekali siswa dengan keterampilan-keterampilan yang lebih menjanjikan bagi kehidupannya kelak, yang sangat dibutuhkan pada era globalisasi nanti. Ketrampilan itu tidak lain adalah keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris. Untuk dapat memenuhi tujuan itu, guru seyogyanya lebih kreatif menjadikan pembelajaran tampak lebih hidup, nyata dan lebih bermakna, dan salah satunya melalui Role Play. Belajar adalah proses, dan butuh kesabaran di pihak kita.

DAFTAR PUSTAKA

1) Bobby DePorter, dkk. 2000. Quantum teaching. Bandung: Kaifa.
2) Bobby DePorter dan Mike Hemacki, dkk. 2000. Quantum learning. Bandung: Kaifa.
3) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. GBPP bahasa Inggris SLTP 1994. Jakarta: Bidang Dikmenum Kanwil Dikbud Propinsi Jawa Timur.
4) Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Contextual teaching and learning. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama
5) Hadfield, J. 1986. Harap's communication games. Australia: Thomas Nelson and Son Ltd.
6) Hasman, M. A. 2000. The importance of English. Washington: English Teaching Forum.
7) Mulyasa, E. 2002. Kurilculum berbasis kompetensi: Konsep, karakteristik, dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
8) Sardiman A.M. 2001. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali Press.
9) Basri, S. 2000. Teaching speaking. Makalah disampaikan pada Penataran Instruktur Guru Bahasa Inggris SLTP Swasta tanggal 8 - 19 Pebruari 2000 di Jakarta.

--------------------
*) Mudairin adalah Guru Bahasa Inggris SLTP Islam Manbaul Ulum Kabupaten Gersik , Jawa Timur.

Sumber : Buletin Pelangi Pendidikan (Buletin Peningkatan Mutu Pendidikan SLTP) Volume 6 No. 2 tahun 2003.

sekolah

BELAJAR KEJUJURAN DI SEKOLAH

Oleh : Solkhan *)


Suatu ketika di bulan Juli 2006, seorang penulis, D. Keumalawati yang saya kenal cukup kreatif melhairkan karya-karya sastra dan juga aktif menulis di media massa itu pada tanggal 19 Juli 2006 ia menulis sebuah tulisan yang bernada bertanya. Saat itu ia menulis dengan judul, "Jujurkah Dunia Pendidikan Kita ?" D. Kemalawati yang seharian bekerja sebagai guru di sebuah SMK di kota Banda Aceh ini, dalam tulisannya itu memberikan gambaran kegusaran yang mendalam terhadap dunia pendidikan kita. Betapa D. Kemalawati gelisah dan galau melihat fenomena dan realitas pendidikan kita yang sedang berlangsung saat ini. Kegalauan D. Kemalawati sebagaimana tergambar dan terdeskripsi dalam tulisan itu dilandasi pada realitas kontemporer yang saat ini melanda dunia pendidikan kita yang bernama sekolah. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang berfungsi menjalankan fungsi edukatif saat ini dipandang semakin tidak jujur. Salah satu indikator yang digunakan oleh D. Kemalawati adalah apa yang terjadi dalam hiruk pikuknya pelaksanaan ujian nasional di tanah air baru-baru ini. Ujian nasional yang telah dijadikan sebagai sebuah standard kelulusan siswa itu dalam banyak catatan masyarakat kita penuh dengan tanda tanya. Tanda tanya yang mengarah pada ketidakpercayaan pada hasil UAN tersebut, karena banyak terjadinya hal-hal yang kontradiktif, paradoksal, dan bahkan tidak masuk akal. Indikator lain yang membuat kegalauan itu adalah pada sebuah statement sang Menteri pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo dalam rapat kerja dengan komisi X DPR RI 28 Juni 2006 yang menyatakan bahwa beliau malu karena hasil penyelidikan yang oleh Tim Investigasi menemukan banyaknya kecurangan dalam pelaksanaan UN.

Kecurangan adalah sebuah bentuk ketidak jujuran yang kerap kali terjadi dalam kehidupan kita, termasuk saat ini dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak kita dan bahkan kita sendiri belajar kejujuran. Sekolah yang selama ini menjadi harapan bagi kita untuk membangun sikap-sikap positif yang mulia, seperti beraklak baik dalam artian menjunjung nilai-nilai kejujuran, sopan, santun, dan sebagainya, ternyata kini tidak lagi menjadi semakin sirna. Dikatakan demikian, karena apa yang disebut dengan kejujuran itu, kini semakin sulit untuk didapatkan di lembaga pendidikan yang bernama sekolah. Benarkah kini di sekolah kita mengalami krisis kejujuran ? Atau bisakah kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam melaksanakan Ujian Nasional selama ini dapat dijadikan sebagai indikator bahwa memang kejujuran itu sudah tidak ada di lembaga pendidikan kita ?

Mungkin terlalu sempit atau bisa jadi dianggap sangat tidak berdasar kalau kita katakan bahwa kecurangan yang dilakukan dalam pelaksanaan UN menjadi indikator ketidak jujuran pendidikan kita. Namun, tidak salah, bila dijadikan sebagai salah satu indikator. Karena masih banyak unsur atau elemen lain yang bisa dijadikan indikator. Bila kita benar-benar jujur, maka kecurangan yang dilakukan oleh siswa, guru, kepala sekolah maupun para pengambil kibijakan pendidikan dengan manipulasi nilai UN tersebut, adalah sebuah bentuk bentuk ketidak jujuran tersebut. Sekolah sebagai salah satu basis atau learning center of honesty, selama ini sudah kehilangan makna kejujuran.

Sulit dan Langka

Idealnya, lembaga pendidikan yang bernama sekolah, seperti halnya rumah (keluarga) adalah sebuah lembaga yang menjadi basis untuk belajar kejujuran. Seperti kata orang bijak, kejujuran itu berangkat dari rumah dan sekolah. Mengapa demikian ? Tentu saja, jawabannya karena seorang anak, belajar kejujuran yang pertama adalah dari kejujuran yang ada di dalam keluarga dan yang ada di sekolah. Percaya atau tidak, bahwa dalam keluarga yang baik atau di sekolah yang baik, yang meletakkan basis pemahaman yang agamis, kita selalu saja diajarkan agar selalu bersikap jujur. Hidup dengan kejujuran selalu saja dijadikan sebagai sebuah jalan yang bisa mengantarkan kita pada posisi selamat. Maka, sebagai perwujudan dari penanaman sikap jujur tersebut, seringkali kita mendengar anjuran atau pepatah petitih seperti, "Jauhilah yang jahat, dan hiduplah dengan jujur. Janganlah sekali-kali menyimpang dari jalan yang benar". Atau ada yang mengatakan seperti ini, jujur adalah pangkal kebahagiaan dan keselamatan. Atau juga ada yang mengatakan bahwa, kalau ingin selamat berjalanlah di atas rel kejujuran, dan sebagainya. Pendeknya, anjuran berlaku jujur adalah anjuran yang banyak kita temukan dalam agama yang diwujudkan dalam berkehidupan sosial. Begitu pentingnya menjaga dan bersikap jujur dalam hidup ini. Oleh sebab itu, setiap anak di dalam keluarga dan bahkan dalam kurikulum pendidikan, diajarkan dengan nilai-nilai kejujuran. Maka, harapan untuk menjadikan keluarga dan sekolah sebagai tempat belajar kejujuran menjadi semakin strategis.

Namun, bila kita mencoba masuk ke dalam lembaga pendidikan yang bernama sekolah itu saat ini, apakah masih menemukan nilai dan prinsip kejujuran tersebut ? Barangkali terlalu ekstrim dan mengada-ngada bila kita katakan bahwa lembaga pendidikan yang bernama sekolah sudah tidak jujur. Para guru atau para praktisi pendidikan pasti akan menggugat, bertanya apa landasan pemikiran yang mengatakan bahwa sekolah sekarang sudah tidak jujur. Bisa saja anda, sang pembaca akan berkata"ah itu tidak benar".

Nah, apapun jawabannya. Benar atau salahkah bila tuduhan itu muncul, yang paling penting kita harus menganalisis dahulu isi dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu, agar kita bisa menjawabnya, perlu upaya untuk melihat dari dekat terhadap kondisi sekarang di lembaga pendidikan kita. Mari kita amati satu persatu dan catat semua fenomena dan realitas yang sedang berkembang. Mungkin para guru, praktisi pendidikan dan para pembaca akan menemukan banyak catatan penting yang bisa mengarah pada pembenaran terhadap pernyataan bahwa saat ini kejujuran itu kian langka dan sulit ditemukan di sekolah. Salah satu indikator kita yang bisa kita jadikan sebagai alat ukur terhadap kejujuran di sekolah adalah dengan apa yang saat ini masih menjadi bahan perdebatan dengan hasil Ujian Nasional yang dianggap memiliki tingkat validity dan liability yang tinggi itu. Hingga kini, walau para pejabat pendidikan kita berbesar hati dan bahkan eforia terhadap hasil yang dicapai pada tahun 2006 yang lalu, tingkat validitas hasil masih saja diragukan oleh masyarakat kita.

Andai kita mau melihat dengan jujur. Kita akan bertanya, bagaimana kita bisa belajar kejujuran di sekolah, kalau saat ini sudah banyak guru yang dalam menjalankan tugas sudah tidak jujur. Misalnya, karena tuntutan dan dijejalkan dengan berbagai persyaratan dalam sistem kenaikan pangkat, demi mengejar angka kredit dalam mengusulkan pangkat, tidak sedikit guru yang berbuat curang. Berapa banyak guru yang saat ini dengan jujur bisa memberikan nilai terhadap yang sesuai dengan hasil yang diperoleh anak ? Ini adalah salah satu hal yang bisa kita jadikan sebagai sebuah alat ukur, karena masih banyak realitas lain yang bisa kita temukan. Lalu, kalau kita ingin mengukur tingkat kejujuran seorang Kepala Sekolah, mungkin semakin banyak fakta ketidak jujuran itu kita jumpai. Bertanyalah kita, jujurkah seorang kepala sekolah dalam memperoleh jabatan kepala sekolah ?. Kita harapkan kepala sekolah bisa menjawab dengan jujur, sekurang-kurangnya terhadap dirinya. Jabatan kepala sekolah sebagai jabatan yang boleh dikatakan jabatan yang tergolong "top karir" tersebut biasanya diperjuangkan dengan cara-cara yang sarat dengan ketidak jujuran. Bisa dengan memanfaatkan hubungan nepotisme, bisa dengan membayar sejumlah uang, bisa pula dengan berkolusi. Ini adalah fenomena umum dalam memperoleh sebuah jabatan di negeri ini. Lalu, kejujuran apa yang bisa kita pelajari dari seorang kepala sekolah yang memperoleh jabatan secara tidak jujur ? Transparansi ? Akuntabilitas ? Atau apa ?

Untuk belajar transparansi, agaknya kita semakin jauh. Realitas menunjukan bahwa kebanyakan kepala sekolah sangat tidak transparan kepada para guru dalam mengelola dana-dana yang masuk ke sekolah. Berapa banyak kepala sekolah yang mau secara transparan memberitahukan sumber-sumber pendapatan sekolah kepada para guru yang menjadi stake holders pendidikan ? Celakanya, banyak kepala sekolah yang berkata, Bapak dan Ibu guru, tidak perlu banyak tanya. Tugas ibu dan Bapak hanya mengajar. Jangan tanya-tanya soal uang di sekolah. Ini bukan urusan ibu dan bapak guru. Kalau ada guru yang mau bertanya soal dana block Grant, BOS bahkan sekolah yang menerima bantuan dari bencana tsunami dan sebagainya, sebaiknya jangan bertanya di dalam rapat. Datanglah ke ruangan kepala sekolah. Aneh bukan ? Padahal, yang namanya transparansi itu adalah bagaimana agar semua guru di sekolah diberikan hak untuk tahu akan penggunaan dana di sekolah. Ketidakjujuran seorang kepala sekolah, juga tergambar pada sikap dan perilakunya. Di satu sisi, penampilan tampak sangat agamis, perkataan sangat agamis, bahkan menggunakan ayat-ayat suci, tetapi kala berkaitan dengan uang, ya sikap itu berbeda antara kata dan perbuatan. Belum lagi kita bertanya soal akuntabilitas, semakin tidak bisa dipertanggungjawakan. Celaka bukan ?

Ketidakjujuran guru, kepala sekolah pada hakikatnya tidak semata-mata bersumber atau disebabkan oleh faktor yang ada dalam diri guru dan dalam diri kepala sekolah saja. Semua ini juga terkait dengan sistem pemerintahan kita yang kini semakin sulit kita temukan kejujuran itu. Jadi, kegundahan dan kegalauan D.Keumalawati dalam tulisannya tanggal 19 Juli 2006 itu bisa kita jawab demikian.

Namun pertanyaan kita selajutnya, kalau begini kondisi yang ada di dalam lembaga pendidikan kita dan kondisi sistem di pemerintahan kita, maka pertanyaan kita adalah bisakah kita belajar kejujuran di sekolah ? Kalau kita mau menganalisisnya, salah satu jawaban yang bisa kita prediksikan adalah semakin sulit kita bisa belajar kejujuran di sekolah saat ini. Di tengah kesulitan ini juga barangkali, kita memang tidak bisa berharap dan menuntut agar sekolah dan pemerintah bisa jujur. Haruskah demikian ? Subhannallah.

------------------------पेनुलिस अदलाह पेंगामत

Sabtu, 24 Januari 2009

Ilmu Retorika

Retorika Dan Bahasa
Oleh
Solkhan,S.Pd

A. Pendahuluan
Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh “sapiens” (bijaksana, berbudi) hanya karena ia “loquens (bertutur), yakni karena ia dapat belajar bercakap (Paul Chauchard dalam Baryadi, 2004: 1). Setiap manusia secara fitrah memiliki kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Bahasa merupakan media retorika, sedangkan retorika sering digunakan sebagai ilmu berbicara yang diperlukan setiap orang (Rakhmat, 2001: 2). Ketika berbicara di depan umum, mahasiswa juga membutuhkan ilmu retorika untuk menunjang kualitas pembicaraannya. Selain itu, retorika digunakan untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/topik yang dibicarakan. Namun pada kenyataannya, tidak banyak mahasiswa yang mampu menggunakan retorika dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi bahasa dan retorika yang digunakan mahasiswa dalam berkomunikasi atau berbicara di depan umum. Rekonstruksi tersebut dapat dimulai dari segi penggunaan bahasa yang digunakan dalam berbicara. Kemudian selanjutnya pada ilmu retorika yang harus digunakan, yaitu metode dan etika retorika.
Dengan merekonstruksi bahasa dan retorika, diharapkan kemampuan berbicara mahasiswa akan termasuk dalam kategori “mahasiswa yang berbicara secara intelektual”.

B. Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 1). Manusia dengan segala rutinitas dan aktivitasnya, tidak pernah terlepas dari bahasa, karena bahasa merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Dengan bahasa, manusia dapat mengomunikasikan apa yang dipikirkan dan dapat pula mengekspresikan sikap dan perasaanya ( Arsjad, 1991: 11). Hal itu adalah salah satu yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya.
Orang berbahasa karena adanya suatu rangsangan dari lingkungannya yang harus segera direspon melalui bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa bahasa merupakan sistem lambang yang digunakan untuk berinteraksi di dalam masyarakat.
Hakikat dan Fungsi Bahasa
Hakikat bahasa menurut Reching Koen (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2) memiliki tiga sifat (a) mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d) sebagai alat komunikasi.
1. Mengganti
Bahasa dapat menggantikan suatu peristiwa yang seharusnya dilakukan oleh individu/ kelompok.
2. Individual
Seorang individu/ kelompok dapat meminta individu/ kelompok lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Bahasa yang diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain bersifat individual.
3. Kooperatif
Ketika sebuah bahasa telah dilahirkan dalam kalimat yang didengar oleh individu lain untuk melakukan pekerjaan yang diminta, maka kesediaan seorang individu dalam melakukan pekerjaan itu karena adanya unsure kooperatif antar individu.
4. Alat Komunikasi
Bahasa merupakan alat komunikasi.
Fungsi bahasa adalah alasan-alasan seseorang berbicara. Menurut Mar’at (2005: 19) ada dua macam fungsi bahasa yaitu:
1. fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal, yaitu penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan, mengambil keputusan, berpikir, mengingat, dan sebagainya,
2. fungsi bahasa yang bersifat interpersonal, yaitu yang menunjukkan adanya suatu pesan atau keinginan penutur.
Bahasa tidak dapat terlepas dari aktivitas sosial. Oleh karena itu, Halliday dalam Santoso (2003: 20-21) mengemukakan ada tiga metafungsi sehubungan dengan penggunaan bahasa di dalam proses sosial di suatu masyarakat. Ketiga metafungsi tersebut ialah:
1. ideasional
yang termasuk di dalam fungsi ini adalah fungsi eksperiensial dan logikal. Fungsi ideasional: eksperiensial merupakan penggunaan bahasa untuk merefleksikan realitas pengalaman pembicaranya;
2. interpersonal
fungsi interpersonal menggambarkan hubungna sosial antar partisipan. Interaksi sosial seperti apa yang sedang berjalan: memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa;
3. tekstual
fungsi tekstual tergambar melalui makna simbol yang merealisasikan kedua makna sebelumnya: ideasional dan interpersonal.

C. Retorika
Retorika berasal dari bahasa Yunani yaitu rhêtôr, orator, teacher. Secara umum, retorika ialah seni atau teknik persuasi menggunakan media oral atau tertulis (Wikipedia, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) menjelaskan bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan suatu keterampilan menemukan secara persuatif dan objektif suatu kasus dengan meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Jadi, tujuan retorika adalah persuasi untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/ topik yang dibicarakan pembicara sehingga dapat membina saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan berbicara.
Jika selama ini, retorika dianggap sebagai ilmu pidato semata, sekarang fungsi retorika telah mengalami perluasan. Retorika merupakan bidang studi komunikasi yang turut mengembangkan ilmu komunikasi (Rakhmat, 2001: 2). Rakhmat menyebut retorika sebagai “ilmu bicara”.
Fungsi retorika menurut Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) ada empat fungsi, yaitu:
a. menuntut orang mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan memecahkan suatu kasus;
b. membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur;
c. memimpin orang menganalisis kasus secara sistematis objektif untuk menemukan secara persuasif yang efektif untuk meyakinkan orang; dan
d. mengajarkan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan gagasan.

D. Bahasa dan Retorika dalam Komunikasi Mahasiswa
Pada dasarnya berbicara dan berbahasa tidak membentuk wujud yang berbeda. Keduanya merupakan perbuatan menggunakan bunyi-bunyi bahasa yang terepresentasikan melalui penerjemahan sistem simbol yang bermakna. Hal itu, menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam percakapan karena bahasa merupakan kombinasi kata yang diatur secara sistematis sebagai alat komunikasi (Wibowo, 2003: 3).
Menurut Arsjad (1991: 17) ada beberapa faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan yang harus dikuasai untuk menunjang efektivitas pembicaraan.
1. Faktor Kebahasaan
a. ketepatan ucapan
b. penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
c. pilihan kata
d. ketepatan sasaran pembicaraan
2. Faktor Nonkebahasaan
a. sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
b. pandangan harus diluruskan kepada lawan bicara
c. kesediaan menghargai pendapat orang lain
d. gerak-gerik dan mimik yang tepat
e. kenyaringan suara yang sangat menentukan
f. kelancaran
g. relevansi/penalaran
h. penguasaan topik


Di dalam perkuliahan, tidak banyak yang memiliki keterampilan berbahasa maupun beretorika dengan baik dan efektif. Banyak orang yang berdalih bahwa dalam berbicara sudah cukup bila pendengarnya dapat mengerti apa yang dimaksudkannya. Namun mereka belum dapat memastikan kadar kemengertian pembicaraannya. Menurut Supratman (1982: 20) seorang pembicara yang baik, seharusnya menyadari adanya beberapa kemungkinan yang terjadi seperti pendengarnya mengerutkan dahi sebagai tanda bahwa pembicaraannya menyulitkan pendengar dan kurang komunikatif, serta pendengarnya itu gelisah, tidak sabar, dan ingin pembicaraannya segera diakhiri. Pembicara sebaiknya menyadari bahwa pembicaraannya itu mengesankan atau tak berbekas. Pembicara sebaiknya memiliki kadar daya tarik, kadar daya mengasyikkan, dan kadar kesan yang tinggi.
Jadi, terampil berbicara bukan hanya banyak bicara, bukan hanya fasih dan lancar. Terampil berbicara tidak hanya disimak dari validitas secara kuantitatif, tetapi juga harus dapat disimak melalui kadar kualitatifnya. Berbicara yang efektif seyogyanya menyenangkan, memiliki daya tarik, mengasyikkan, ,mengesankan, mencapai tujuan secara jelas serta mengundang rasa simpatik pendengar. Untuk dapat berbicara yang efektif, diperlukan ilmu retorika. Metode yang harus diikuti oleh pembicara agar mendapatkan hasil retorika yang berkualitas menurut Wildensyah (1991) terdapat empat metode sebagai berikut.
1. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar ke arah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing). Berbagai cara dapat ditampilkan untuk memikat perhatian hadirin.
- Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dan sebagainya)
- Mengajukan pertanyaan
- Menyajikan ilustrasi yang spesifik
- Memberikan fakta yang mengejutkan
- Menyajikan hal yang bersifat manusia (human interest)
- Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman
- Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan
2. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara faktual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.
3. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topik yang akan disajikan secara teoretis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
4 Conclusio (kesimpulan)
Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran pembicara. Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Mengemukakan fakta baru
- Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional
Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai pembicara:
- source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)
- source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai pembicara.
Selain metode yang harus diperhatikan, pembicara juga harus memiliki etika retorika sebagai berikut.
- Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis sosial
- Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
- Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku di masyarakat
- Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
- Memiliki kekuatan dalil atau nash
Selain fenomena banyaknya mahasiswa yang hanya pintar “berdalih” namun tidak memiliki kualitas dan efektivitas pembicaraan seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak sedikit pula mahasiswa yang “gagap” berbicara.
Ketika perkuliahan berlangsung, hanya ada segelintir mahasiswa yang turut beropini dalam mengemukakan suatu permasalahan. Sebagian besar mahasiswa merasa “enggan” untuk berbicara. Mereka hanya diam, tidak turut memberikan komentar, sampai pada akhirnya dosen memaksa mereka untuk berbicara. Bentuk pemaksaan tersebut ialah stimulus agar mahasiswa mau berbicara dengan iming-iming nilai.
Jika melihat fakta yang lain, bisa jadi, perasaan “enggan” berbicara tersebut karena adanya faktor ketakutan. Perasaan takut berbicara di depan umum merupakan sesuatu yang wajar. Osborne (1994: 2) mengungkapkan bahwa perasaan takut itu mungkin mencakup:
- rasa takut secara fisik terhadap pendengar,
- rasa takut akan ditertawakan orang,
- rasa takut bahwa diri Anda akan jadi tontonan orang,
- rasa takut bahwa apa yang mungkin akan Anda kemukakan tidak pantas untuk dikemukakan,
- rasa takut bahwa Anda mungkin membosankan para pendengar.
Untuk menanggulangi perasaan takut tersebut, pembicara harus mampu menanamkan sikap percaya diri. Sikap percaya diri dapat dibentuk dengan cara memperluas wilayah kesenangannya. Osborne (1994: 3) menyatakan bahwa suatu sikap menyenangkan dapat dimulai dengan membangun citra diri yang dapat diungkapkan dengan “saya senang berbicara di depan umum”. Kalimat itu dapat diucapkan berulangkali ketika menghadapi situasi yang mengharuskan seseorang untuk berbicara.
Selain itu, untuk menggugah minat agar mahasiswa yang biasanya “diam” di kelas untuk ikut berbicara tanpa dipaksa, ada beberapa hal yang harus dipompakan dalam dirinya. Beberapa hal tersebut ialah unsur ketenangan, semangat, gerak-gerik dan perasaan, serta pemahaman pembicara akan kebenaran isi yang dibicarakan. (Muhadjir, dkk dalam Supratman, 1982: 22).
Ada beberapa kiat yang disampaikan oleh Supratman (1982: 35) yang dapat dijadikan acuan sebagai indikator keberhasilan berbicara.
1. Lafal dan volume suara
- Tidak menggunakan pengaruh lafal asing
- Tiap fonem diucapkan dengan jelas
- Suaranya segar dan menarik serta simpatik
- Gagasan mudah ditangkap
2. Intonasi (tekanan, jeda, dan tempo)
- Penggunaan tekanan, pemberhentian dan tempo dilakukan secara tepat dan menarik sesuai dengan situasi dan kebutuhan pembicaraan
- Komunikasi menyenangkan dan mudah ditanggap
3. Perbendaharaan kata
- Kata-kata digunakan secara tepat, cermat, serta bervariasi, sehingga apa yang dikemukakan cukup menarik dan mudah dipahami
- Daya imajinasi pendengar cukup berkembang
4. Komposisi bentuk bahasa
- Unsur gagasan dituturkan dengan urutan yang logis dan menarik serta bervariasi
5. Pemahaman isi pembicaraan
- Kelancaran pembicaraannya menunjukkan bahwa ia yakin dengan yang dikemukakan
- Variasi pembicaraan orisinal dan kreatif
- Pendengar merasa senang mendapatkan hal-hal yang baru yang dikemukakannya
6. Kelancaran
- Kelancaran pembicaraannya dapat membuat pendengar yakin dengan yang dikemukakannya
7. Sikap berbicara
- Baru berbicara setelah ia mengikuti dengan seksama pembicaraan pendengar
- Ia berpretensi mengemukakan pendapat yang saling menguntungkan
- Ia hati-hati bila akan menyanggah pendapat orang
8. Pretensi pembicaraan
- Ia hanya berbicara mengenai hal-hal yang bermanfaat bagi pendengar
- Gagasannya orisinal dan segar
- Ia menghargai dan jujur bila menggunakan pendapat (mengutip) orang lain

E. Penutup
Jika dalam forum kecil, mahasiswa harus “dipaksa” untuk berbicara, bagaimana jika dalam forum yang besar? Akankah gagasan yang tersimpan dalam memori mereka akan tersalurkan? Hal ini perlu kiranya untuk jadi perenungan bersama.
Perlu dipersiapkan dengan baik dan cermat, bahan-bahan pembicaraan yang tepat, patut dan menarik untuk dibicarakan, yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa berbicara.
Rekonstruksi bahasa dan retorika dapat dimulai dengan penguasaan unsur-unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam berbicara. Setelah itu, penting juga seorang pembicara menggunakan metode dan etika retorika yang tepat. Dengan demikian, diharapkan akan tercetak generasi mahasiswa yang terampil berbicara secara intelektual.

Daftar Rujukan

Arsjad, Maidar G. dan US, Mukti. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Aslinda, dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bnadung: PT. Refika Aditama

Baryadi, I. Praptomo. 2004. “Berbagai Pandangan Tentang Kompetensi Berbahasa”. Dalam Taum, Yoseph Yapi, dkk (Editor). Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma

Bormann, Ernest G. dan Bormann, Nancy G. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Terjemahan oleh Pulus Sulasdi. Jakarta: Erlangga

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama

Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Bandung: Angkasa Raya

Osborne, John W. 1994. Kiat Berbicara Di Depan Umum untuk Eksekutif. Terjemahan Walfred Andre. Jakarta: Bumi Aksara

Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press

Supratman, Dandan. 1982. “ Mengukur Keterampilan Berbicara”. Media: Jurnal Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Semarang. 16: 13-58

Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wikipedia. 1996. Retorika. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/retorika, diakses 3 November 2007

Wildensyah, Iden. 1991. Retorika. Tersedia pada http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=91, diakses 3 November 2007

Ilmu retorika

Bahasa Dan Retorika
Oleh
Solkhan, S.Pd

A. Pendahuluan
Bahasa adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh “sapiens” (bijaksana, berbudi) hanya karena ia “loquens (bertutur), yakni karena ia dapat belajar bercakap (Paul Chauchard dalam Baryadi, 2004: 1). Setiap manusia secara fitrah memiliki kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Bahasa merupakan media retorika, sedangkan retorika sering digunakan sebagai ilmu berbicara yang diperlukan setiap orang (Rakhmat, 2001: 2). Ketika berbicara di depan umum, mahasiswa juga membutuhkan ilmu retorika untuk menunjang kualitas pembicaraannya. Selain itu, retorika digunakan untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/topik yang dibicarakan. Namun pada kenyataannya, tidak banyak mahasiswa yang mampu menggunakan retorika dengan baik dan efektif. Oleh karena itu, perlu adanya rekonstruksi bahasa dan retorika yang digunakan mahasiswa dalam berkomunikasi atau berbicara di depan umum. Rekonstruksi tersebut dapat dimulai dari segi penggunaan bahasa yang digunakan dalam berbicara. Kemudian selanjutnya pada ilmu retorika yang harus digunakan, yaitu metode dan etika retorika.
Dengan merekonstruksi bahasa dan retorika, diharapkan kemampuan berbicara mahasiswa akan termasuk dalam kategori “mahasiswa yang berbicara secara intelektual”.

B. Bahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana dalam Aslinda dan Syafyahya, 2007: 1). Manusia dengan segala rutinitas dan aktivitasnya, tidak pernah terlepas dari bahasa, karena bahasa merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Dengan bahasa, manusia dapat mengomunikasikan apa yang dipikirkan dan dapat pula mengekspresikan sikap dan perasaanya ( Arsjad, 1991: 11). Hal itu adalah salah satu yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya.
Orang berbahasa karena adanya suatu rangsangan dari lingkungannya yang harus segera direspon melalui bahasa. Hal itu menunjukkan bahwa bahasa merupakan sistem lambang yang digunakan untuk berinteraksi di dalam masyarakat.
Hakikat dan Fungsi Bahasa
Hakikat bahasa menurut Reching Koen (Aslinda dan Syafyahya, 2007: 2) memiliki tiga sifat (a) mengganti, (b) individual, (c) kooperatif, dan (d) sebagai alat komunikasi.
1. Mengganti
Bahasa dapat menggantikan suatu peristiwa yang seharusnya dilakukan oleh individu/ kelompok.
2. Individual
Seorang individu/ kelompok dapat meminta individu/ kelompok lain untuk melakukan suatu pekerjaan. Bahasa yang diucapkan oleh seorang individu kepada individu lain bersifat individual.
3. Kooperatif
Ketika sebuah bahasa telah dilahirkan dalam kalimat yang didengar oleh individu lain untuk melakukan pekerjaan yang diminta, maka kesediaan seorang individu dalam melakukan pekerjaan itu karena adanya unsure kooperatif antar individu.
4. Alat Komunikasi
Bahasa merupakan alat komunikasi.
Fungsi bahasa adalah alasan-alasan seseorang berbicara. Menurut Mar’at (2005: 19) ada dua macam fungsi bahasa yaitu:
1. fungsi bahasa yang bersifat intrapersonal, yaitu penggunaan bahasa untuk memecahkan persoalan, mengambil keputusan, berpikir, mengingat, dan sebagainya,
2. fungsi bahasa yang bersifat interpersonal, yaitu yang menunjukkan adanya suatu pesan atau keinginan penutur.
Bahasa tidak dapat terlepas dari aktivitas sosial. Oleh karena itu, Halliday dalam Santoso (2003: 20-21) mengemukakan ada tiga metafungsi sehubungan dengan penggunaan bahasa di dalam proses sosial di suatu masyarakat. Ketiga metafungsi tersebut ialah:
1. ideasional
yang termasuk di dalam fungsi ini adalah fungsi eksperiensial dan logikal. Fungsi ideasional: eksperiensial merupakan penggunaan bahasa untuk merefleksikan realitas pengalaman pembicaranya;
2. interpersonal
fungsi interpersonal menggambarkan hubungna sosial antar partisipan. Interaksi sosial seperti apa yang sedang berjalan: memberi atau meminta informasi atau memberi atau meminta barang atau jasa;
3. tekstual
fungsi tekstual tergambar melalui makna simbol yang merealisasikan kedua makna sebelumnya: ideasional dan interpersonal.

C. Retorika
Retorika berasal dari bahasa Yunani yaitu rhêtôr, orator, teacher. Secara umum, retorika ialah seni atau teknik persuasi menggunakan media oral atau tertulis (Wikipedia, 1996). Sejalan dengan pengertian tersebut, Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) menjelaskan bahwa retorika adalah ilmu yang mengajarkan suatu keterampilan menemukan secara persuatif dan objektif suatu kasus dengan meyakinkan pihak lain akan kebenaran kasus yang dibicarakan. Jadi, tujuan retorika adalah persuasi untuk meyakinkan pendengar akan kebenaran gagasan/ topik yang dibicarakan pembicara sehingga dapat membina saling pengertian yang mengembangkan kerja sama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan berbicara.
Jika selama ini, retorika dianggap sebagai ilmu pidato semata, sekarang fungsi retorika telah mengalami perluasan. Retorika merupakan bidang studi komunikasi yang turut mengembangkan ilmu komunikasi (Rakhmat, 2001: 2). Rakhmat menyebut retorika sebagai “ilmu bicara”.
Fungsi retorika menurut Aristoteles (Arsjad, 1991: 5) ada empat fungsi, yaitu:
a. menuntut orang mengambil keputusan dalam menghadapi berbagai kemungkinan memecahkan suatu kasus;
b. membimbing orang memahami kondisi kejiwaan penanggap tutur;
c. memimpin orang menganalisis kasus secara sistematis objektif untuk menemukan secara persuasif yang efektif untuk meyakinkan orang; dan
d. mengajarkan cara-cara yang efektif untuk mempertahankan gagasan.

D. Bahasa dan Retorika dalam Komunikasi Mahasiswa
Pada dasarnya berbicara dan berbahasa tidak membentuk wujud yang berbeda. Keduanya merupakan perbuatan menggunakan bunyi-bunyi bahasa yang terepresentasikan melalui penerjemahan sistem simbol yang bermakna. Hal itu, menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam percakapan karena bahasa merupakan kombinasi kata yang diatur secara sistematis sebagai alat komunikasi (Wibowo, 2003: 3).
Menurut Arsjad (1991: 17) ada beberapa faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan yang harus dikuasai untuk menunjang efektivitas pembicaraan.
1. Faktor Kebahasaan
a. ketepatan ucapan
b. penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
c. pilihan kata
d. ketepatan sasaran pembicaraan
2. Faktor Nonkebahasaan
a. sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
b. pandangan harus diluruskan kepada lawan bicara
c. kesediaan menghargai pendapat orang lain
d. gerak-gerik dan mimik yang tepat
e. kenyaringan suara yang sangat menentukan
f. kelancaran
g. relevansi/penalaran
h. penguasaan topik


Di dalam perkuliahan, tidak banyak yang memiliki keterampilan berbahasa maupun beretorika dengan baik dan efektif. Banyak orang yang berdalih bahwa dalam berbicara sudah cukup bila pendengarnya dapat mengerti apa yang dimaksudkannya. Namun mereka belum dapat memastikan kadar kemengertian pembicaraannya. Menurut Supratman (1982: 20) seorang pembicara yang baik, seharusnya menyadari adanya beberapa kemungkinan yang terjadi seperti pendengarnya mengerutkan dahi sebagai tanda bahwa pembicaraannya menyulitkan pendengar dan kurang komunikatif, serta pendengarnya itu gelisah, tidak sabar, dan ingin pembicaraannya segera diakhiri. Pembicara sebaiknya menyadari bahwa pembicaraannya itu mengesankan atau tak berbekas. Pembicara sebaiknya memiliki kadar daya tarik, kadar daya mengasyikkan, dan kadar kesan yang tinggi.
Jadi, terampil berbicara bukan hanya banyak bicara, bukan hanya fasih dan lancar. Terampil berbicara tidak hanya disimak dari validitas secara kuantitatif, tetapi juga harus dapat disimak melalui kadar kualitatifnya. Berbicara yang efektif seyogyanya menyenangkan, memiliki daya tarik, mengasyikkan, ,mengesankan, mencapai tujuan secara jelas serta mengundang rasa simpatik pendengar. Untuk dapat berbicara yang efektif, diperlukan ilmu retorika. Metode yang harus diikuti oleh pembicara agar mendapatkan hasil retorika yang berkualitas menurut Wildensyah (1991) terdapat empat metode sebagai berikut.
1. Exordium (pendahuluan)
Fungsinya pengantar ke arah pokok persoalan yang akan dibahas dan sebagai upaya menyiapkan mental para hadirin (mental prepation) dan membangkitkan perhatian (attention arousing). Berbagai cara dapat ditampilkan untuk memikat perhatian hadirin.
- Mengemukakan kutipan (ayat kitab suci, pendapat ahli kenamaan, dan sebagainya)
- Mengajukan pertanyaan
- Menyajikan ilustrasi yang spesifik
- Memberikan fakta yang mengejutkan
- Menyajikan hal yang bersifat manusia (human interest)
- Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai materi, tidak pengalaman
- Menyajikan sebuah lelucon yang berlebihan
2. Protesis (latar belakang)
Mengemukakan hakekat pokok persoalan tersebut secara faktual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi pembahasan ini dikemukakan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan pendengar.
3. Argumentasi (isi)
Memberikan ulasan-ulasan tentang topik yang akan disajikan secara teoretis, kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
4 Conclusio (kesimpulan)
Suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran pembicara. Hal yang perlu dihindari sebagai berikut.
- Mengemukakan fakta baru
- Mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional
Dua persyaratan mutlak bagi orang yang akan muncul sebagai pembicara:
- source credibility atau sumber yang terpercaya (ahli dibidangnya)
- source actractivinees atau daya tarik sumber artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai pembicara.
Selain metode yang harus diperhatikan, pembicara juga harus memiliki etika retorika sebagai berikut.
- Memperhatikan kondisi keadaan tertentu, hal ini memerlukan keputusan yang bijaksana, humanistis dan etis sosial
- Memperhatikan standar benar tidaknya ditentukan hukum
- Memperhatikan etika nilai adat istiadat atau tata nilai kesopanan yang berlaku di masyarakat
- Memperhatikan alasan logis atau fakta yang ada
- Memiliki kekuatan dalil atau nash
Selain fenomena banyaknya mahasiswa yang hanya pintar “berdalih” namun tidak memiliki kualitas dan efektivitas pembicaraan seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak sedikit pula mahasiswa yang “gagap” berbicara.
Ketika perkuliahan berlangsung, hanya ada segelintir mahasiswa yang turut beropini dalam mengemukakan suatu permasalahan. Sebagian besar mahasiswa merasa “enggan” untuk berbicara. Mereka hanya diam, tidak turut memberikan komentar, sampai pada akhirnya dosen memaksa mereka untuk berbicara. Bentuk pemaksaan tersebut ialah stimulus agar mahasiswa mau berbicara dengan iming-iming nilai.
Jika melihat fakta yang lain, bisa jadi, perasaan “enggan” berbicara tersebut karena adanya faktor ketakutan. Perasaan takut berbicara di depan umum merupakan sesuatu yang wajar. Osborne (1994: 2) mengungkapkan bahwa perasaan takut itu mungkin mencakup:
- rasa takut secara fisik terhadap pendengar,
- rasa takut akan ditertawakan orang,
- rasa takut bahwa diri Anda akan jadi tontonan orang,
- rasa takut bahwa apa yang mungkin akan Anda kemukakan tidak pantas untuk dikemukakan,
- rasa takut bahwa Anda mungkin membosankan para pendengar.
Untuk menanggulangi perasaan takut tersebut, pembicara harus mampu menanamkan sikap percaya diri. Sikap percaya diri dapat dibentuk dengan cara memperluas wilayah kesenangannya. Osborne (1994: 3) menyatakan bahwa suatu sikap menyenangkan dapat dimulai dengan membangun citra diri yang dapat diungkapkan dengan “saya senang berbicara di depan umum”. Kalimat itu dapat diucapkan berulangkali ketika menghadapi situasi yang mengharuskan seseorang untuk berbicara.
Selain itu, untuk menggugah minat agar mahasiswa yang biasanya “diam” di kelas untuk ikut berbicara tanpa dipaksa, ada beberapa hal yang harus dipompakan dalam dirinya. Beberapa hal tersebut ialah unsur ketenangan, semangat, gerak-gerik dan perasaan, serta pemahaman pembicara akan kebenaran isi yang dibicarakan. (Muhadjir, dkk dalam Supratman, 1982: 22).
Ada beberapa kiat yang disampaikan oleh Supratman (1982: 35) yang dapat dijadikan acuan sebagai indikator keberhasilan berbicara.
1. Lafal dan volume suara
- Tidak menggunakan pengaruh lafal asing
- Tiap fonem diucapkan dengan jelas
- Suaranya segar dan menarik serta simpatik
- Gagasan mudah ditangkap
2. Intonasi (tekanan, jeda, dan tempo)
- Penggunaan tekanan, pemberhentian dan tempo dilakukan secara tepat dan menarik sesuai dengan situasi dan kebutuhan pembicaraan
- Komunikasi menyenangkan dan mudah ditanggap
3. Perbendaharaan kata
- Kata-kata digunakan secara tepat, cermat, serta bervariasi, sehingga apa yang dikemukakan cukup menarik dan mudah dipahami
- Daya imajinasi pendengar cukup berkembang
4. Komposisi bentuk bahasa
- Unsur gagasan dituturkan dengan urutan yang logis dan menarik serta bervariasi
5. Pemahaman isi pembicaraan
- Kelancaran pembicaraannya menunjukkan bahwa ia yakin dengan yang dikemukakan
- Variasi pembicaraan orisinal dan kreatif
- Pendengar merasa senang mendapatkan hal-hal yang baru yang dikemukakannya
6. Kelancaran
- Kelancaran pembicaraannya dapat membuat pendengar yakin dengan yang dikemukakannya
7. Sikap berbicara
- Baru berbicara setelah ia mengikuti dengan seksama pembicaraan pendengar
- Ia berpretensi mengemukakan pendapat yang saling menguntungkan
- Ia hati-hati bila akan menyanggah pendapat orang
8. Pretensi pembicaraan
- Ia hanya berbicara mengenai hal-hal yang bermanfaat bagi pendengar
- Gagasannya orisinal dan segar
- Ia menghargai dan jujur bila menggunakan pendapat (mengutip) orang lain

E. Penutup
Jika dalam forum kecil, mahasiswa harus “dipaksa” untuk berbicara, bagaimana jika dalam forum yang besar? Akankah gagasan yang tersimpan dalam memori mereka akan tersalurkan? Hal ini perlu kiranya untuk jadi perenungan bersama.
Perlu dipersiapkan dengan baik dan cermat, bahan-bahan pembicaraan yang tepat, patut dan menarik untuk dibicarakan, yang disusun sedemikian rupa untuk memudahkan mahasiswa berbicara.
Rekonstruksi bahasa dan retorika dapat dimulai dengan penguasaan unsur-unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam berbicara. Setelah itu, penting juga seorang pembicara menggunakan metode dan etika retorika yang tepat. Dengan demikian, diharapkan akan tercetak generasi mahasiswa yang terampil berbicara secara intelektual.

Daftar Rujukan

Arsjad, Maidar G. dan US, Mukti. 1991. Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga

Aslinda, dan Syafyahya, Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bnadung: PT. Refika Aditama

Baryadi, I. Praptomo. 2004. “Berbagai Pandangan Tentang Kompetensi Berbahasa”. Dalam Taum, Yoseph Yapi, dkk (Editor). Bahasa Merajut Sastra Merunut Budaya. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma

Bormann, Ernest G. dan Bormann, Nancy G. 1991. Retorika: Suatu Pendekatan Terpadu. Terjemahan oleh Pulus Sulasdi. Jakarta: Erlangga

Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Refika Aditama

Medan, Tamsin. 1988. Antologi Kebahasaan. Bandung: Angkasa Raya

Osborne, John W. 1994. Kiat Berbicara Di Depan Umum untuk Eksekutif. Terjemahan Walfred Andre. Jakarta: Bumi Aksara

Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Santoso, Riyadi. 2003. Semiotika Sosial. Surabaya: Pustaka Eureka dan JP Press

Supratman, Dandan. 1982. “ Mengukur Keterampilan Berbicara”. Media: Jurnal Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Semarang. 16: 13-58

Wibowo, Wahyu. 2003. Manajemen Bahasa: Pengorganisasian Karangan Pragmatik dalam Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa dan Praktisi Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wikipedia. 1996. Retorika. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/retorika, diakses 3 November 2007

Wildensyah, Iden. 1991. Retorika. Tersedia pada http://penakayu.blogdrive.com/comments?id=91, diakses 3 November 2007

Selasa, 06 Januari 2009

Senin, 05 Januari 2009

cangkriman

Wingi sore acara pelatihan ning kantor pembicarane trainer sing mulang bab being the best (dadi sing paling apik). Aja dadi wong semenjana. Salah sawijining materi sing menarik yaiku cangkriman sing ditakoake si trainer.

Mungkin awake dewe wis tau krungu lan wis ngerti jawaban cangkriman sing jarene dikarang dening sawijining konsultan internasional. Nalika wingi sore cangkriman iku ditakoake -- ketoke ya sipilitik -- iso di bedhek karo peserta pelatihan. Sing pada njawab ethuk hadiah buku karangane si trainer.

Ana filosofi mranani ning njerone isi cangkriman, yaiku kautaman mikir kanti sederhana. Resep supaya iso njawab cangkriman, yaiku pikiran sing sederhana. Uga ana piwulang liyane, yaiku sesambungan antara cangkriman siji lan sijine, mratelaake anane sesambungan antara masalah siji lan masalah liyane kang diadepi manungsa.

Jarene naliko cangkriman ditakokke marang bocah-bocah cilik, sebagian cangkriman iso di jawab. Sebabe cah cilik pikirane isih sederhana, durung tau krungu informasi sing marakke pikirane rumit.

^_^

Apa tho isining cangkriman iku?

Cangkriman-1
Piye carane nglebokke jerapah ning kulkas?

Jawaban:
Dibukak lawange, dilebokke jerapahe, banjur lawange ditutup meneh. (persis ngajari bocah TK nyimpen jeruk ning jero kulkas ya?)

Cangkriman-2
Piye carane nglebokke gajah ning njero kulkas?

Jawaban:
Dibukak lawange, dithokke jerapahe, dilebokke gajahe, trus ditutup meneh lawange. (Ojo lali jerapahe dithokke ndisik, ndak suk-suk-an ning jero kulkas, terus malah pada gelut)

Cangkriman-3
Macan si rajaning alas nganaake konferensi kanggo kabeh kewan.
Kewan apa sing ora teka?

Jawaban:
Mesthine wae si gajah, amarga isih ndekem ning njero kulkas. (isih ana hubungane karo cangkriman-2)

Cangkriman-4
Piye carane nyabrang kali sing dianggo omah dening baya cacahe akeh benget?

Jawaban:
Ya garek nglangi, wong bayane lagi pada melu konferensi (Hehehe isih ana sesambungane karo cangkriman sakdurunge. Masalah-masalah sing mbendina awake dewe alami mungkin pada saling berhubungan. Terutama menawa masalah iku kerep awake dewe alami).



^_^

Si trainer uga ngetokke lelucon bedane suara sapi edan karo suara sapi normal. Lelucon iku wis tau tak rungokke nalika pelatihan tentang BSE (kira-kira semacam penyakit sapi edan), sing nglatih jenenge David Buckley, konsultan GMP (good manufacturing practice) ning kantorku. Ketoke lelucon iku saiki wis terkenal, ora mung dianggo dening trainer GMP farmasi lan pangan, nanging uga trainer ilmu-ilmu liyane (undil)

Sabtu, 03 Januari 2009

Selamat untuk staf ahliku

selamat ya semoga tidak hanya jagi pemeo saja!

sesuai dengan SOTK baru Pemerintah kabupaten Jepara merombak susunan organisasi pemerintahan. yang paling berbeda dengan yang lama adalah dinas pendidikan dan kebudayaan yang sekarang diganti dengan Dinas Pendidikan pemuda dan Olah raga. Hal ini adalah dinas yang yang sangat menetukan kiprah sumber daya Manusia / penerus bangsa kedepan. yang kedua adalah keberadaan staf ahli. jkami hawatir staf ahli adalah pelarian bagi pejabat yang tidak dapat job sehinga supaya tidak terlalu mencolok maka ditempatkanya di staf ahli. semoga kedepan tidak hanya sebagai pemeo wal hasil tidak jadi penghalang bagi terlaksananya program pemerintah. AMIIN

Jumat, 02 Januari 2009

Bersatualah Kaum Muslim didunia

Ganyang Israel
"Muslim Adalah saudara MuslIm"
Saudaraku umat muslim dimana berada, kita sekarang ini di pusingkang dengan berita Israil dan Palistina, dimanapun; di TV, Radio, Koran Maupun radio membicarakan agresi Israel ke Negara Islam palistina.
Dengan dalih serangang balasan atas pemberontak HAMAS itu di tadak dibenarkan baik oleh PBB maupun negara-negara lain. Sebagai contoh Presiden Indonesia (SBY) mengecam atas agresi Israel atas palistina yang menghancurkan prasarana publik dan korban Jiwa. Sampai detik ini korban jiwa sudah mencapai 390 an jiwa belum termasuk ribuan luka-luka. perbuatan ini tidak bisa kita benarkan begitu saja , kita punya kewajiban untuk membantu saudara kita sesama uslim yang mengalami kesussahan atas perbuatan negara kafir Israel. mari kita berdoa dan membantu secara finansial kepada saudara kita yang ada di Palistina lawat berbagai elemen Masyarakat maupun negara (pemerintah) Indonesia. mari satukan kekuatan kita melawan negara Kafir Israel. semoga saudara kita diberikan kekuatan dan keimanan. Amiin

hai kawan

eleng lan waspodo
eleng lan gemati
eleng lan nyambut pakaryan kang di ugemi

Kata Mutiara

besok siapa yang tahu
lusa siapa yang tahu
tapi kini apa yang kita kerjakan
kalu besok, luasa tidak tahu?